Minggu, 12 Juni 2011

Catatan Facebook Pustaka Bersaudara


     
Jika sudah datang Hujjah yang benar kepadanya
Monday, May 23, 2011 11:14 AM

و كل ضلالة في النار



"Setiap kesesatan itu tempatnya di neraka"



PERBUATAN ITU BID’AH, dilakukan oleh orang , adakalanya kena sanksi kalau sudah datang hujjah yang benar kepada orang tersebut, tetapi kalau belum datang hujjah yang benar kepada orang tersebut karena belum tahu atau masih ada syubhat dikepalanya, maka dia tidak berdosa dan sesat, meskipun perbuatannya tetap dikatakan bid'ah dan sesat, kalaupun mau dikatakan dosa hanya terbatas karena dia tidak mau menuntut ilmu dan bertanya kepada ahlinya.
Setiap bid'ah itu sesat, meskipun dianggap baik oleh manusia
Tuesday, May 10, 2011 2:47 PM

Berkata Abdullah bin Umar :



وعن ابن عمر رضي الله عنه، قال: كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة.



" SETIAP BID’AH ITU SESAT, MESKIPUN DIANGGAP BAIK OLEH MANUSIA “



Perkataan diatas keluar atau terbit dari mata air nabawiyyah bahwa : SETIAP BID'AH ITU SESAT



Kalimat " KULLU " mencakup segala sesuatu yang tersebut sesudahnya yaitu BID"AH. Dan dalam kalimat " BID'AH " dengan bentuk NAKIRAH yang yang menunjukkan KEUMUMANNYA. Dan dia TIDAK DAPAT dikhususkan atau dikecualikan, KECUALI dengan tanda PENGECUALIAN. Misalnya : Setiap bid'ah sesat,KECUALI bid'ah hasanah. Akan tetapi di dalam hadist setiap bid'ah itu sesat, tidak ada tanda pengecualian.



Inilah yang difahami oleh para sahabat, di antaranya Abdullah bin Umar yang mengatakan bahwa SETIAP BID’AH ITU SESAT, MESKIPUN DIANGGAP BAIK OLEH MANUSIA. Tidak ada yang menyalahi kaidah ini, kecuali ulama yang tergelincir di dalam memahami Sunnah atau mereka yang jahil terhadap Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’Sahabat serta bahasa Arab



(Ilmu Ushulil Bida’ hal. 91-102. Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’wal Bid’ juz I hal. 106-107)

Bid'ah Idlafiyyah
Tuesday, May 10, 2011 12:06 AM

Bid'ah Idlafiyyah ialah Satu macam bid'ah, yang apabila dilihat dari satu sisi disyariatkan atau ada dalilnya, akan tetapi apabila dai sisi lain, maka dia serupa dengan bid'ah Haqiqiyyah. Contohnya : Sperti orang2 yang berkumpul utk yasinan setiap malam jum'at. Dilihat dari satu sisi disyariatkan yaitu membaca Al Qur'an termasuk dalamnya Surat Yasin. Akan tetapi dilihat dari sisi yang lain tidak SYAK lagi tentang bid'ahnya. Karena menentukan cara dan waktu setiap malam jum'at sama sekali tidak ada asal-usulnya dari Agama yang mulia ini.
Membongkar Kesalahan - Kesalahan Kitab Barzanji
Monday, February 07, 2011 8:29 PM



Kitab Barzanji ditulis oleh Ja’far  al-Barzanji al-Madani, dia adalah  khatib di Masjidil Haram dan seorang  mufti dari kalangan Syafi’iyyah.  Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763  M dan diatara karyanya adalah  Kisah Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam (Al-Munjid fii al  A’laam, 125)



Sebagai seorang penganut paham  tasawwuf yang bermahzab Syiah tentu  Ja’far al-Barjanzi sangat  mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi  Muhammadshallallahu ‘alaihi  wa sallam. Ini dibuktikan dalam do’anya “Dan  berilah taufik kepada apa  yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi  para pemimpin dari  keturunan az-Zahra di bumi Nu’man”. (Majmuatul  Mawalid, hal. 132)





Kesalahan Umum Kitab Barzanji



Kesalahan kitab Barzanji tidak  separah yang ada pada kitab Daiba dan  Qasidah Burdah. Namun,  penyimpangannya menjadi parah ketika kitab  Barzanji dijadikan sebagai  bacaan seperti al-Quran. Bahkan, dianggap  lebih mulia daripada  al-Quran. Padahal, tidak ada nash syar’i yang  memberi jaminan pahala  bagi orang yang memabca Barzanji, Daiba atau  Qasidah Burdah. Sementara,  membaca al-Quran yang jelas pahalanya, kurang  diperhatikan. Bahkan,  sebagian mereka lebih sering membaca kitab  Barzanji daripada membaca  al-Quran apalagi pada saat perayaan maulid  Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam bersabda :  “Barangsiapa membaca 1 huruf dari al-Quran maka dia  akan mendapatkan 1  kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan  menjadi 10 pahala.  Aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf.  Tetapi, Alif 1 huruf,  Laam 1 huruf, Miim 1 huruf .” (HR. Tirmidzi dan  dishahihkan oleh  al-Albani di dalam shahihul jam’i hadits ke 6468)



Kesalahan Khusus Kitab  Barzanji



Adapun kesalahan yang paling  fatal dalam kitab Barzanji antara lain :

Pertama : Penulis  kitab Barzanji menyakini melalui ungkapan syairnya  bahwa kedua orang  tua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk  ahlul iman dan  termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahwa ia  mengungkapkan  dengan sumpah.





وَقَدْ  أَسْبَحَاوَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِ يْمَانِ

وَجَاءَلِهَذَا فِي اْلحَدِيْثِ شَوَا هِدُ

وَمَالَ إِلَيْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ

فَسَلَّمْ فَإِنََّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُهُ

وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَ شْعَرِيَ لَمُثْبِتُ

نَجَاتَهُمَانَصَّابِمُحْكَ

مِ  تِبْيَانِ



“Dan  sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Ta’ala termasuk ahli iman

Dan telah datang  dalil dari hadits sebagai bukti-buktinya.

Banyak ahli ilmu yang condong terhadap  pendapat ini

Maka  ucapkanlah salam, karena sesungguhnya Allah Maha Agung.

Dan  sesugguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat  menurut  nash tibyan (al-Quran).” (Lihat Majmuatul Mawalid Barzanji, hal   101)



Jelas, yang demikian itu  bertentangan dengan hadits dari Anas  radliyallahu’ahu bahwa  sesungguhnya seorang laki-laki bertanya “Wahai  Rasulullah, dimanakah  ayahku (setelah mati)?” Beliau shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda  “Dia berada di neraka.” Ketika orang itu pergi,  beliau memanggilnya dan  bersabda : “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu  berada di neraka”. (HR.  Muslim dalam shahihnya (348) dan Abu Daud dalam  sunannya (4718))



Imam Nawawi berkata : “Makna  hadits ini adalah bahwa, barangsiapa yang  mati dalam keadaan kafir, ia  kelak berada di Neraka dan kedekatan  kera”bat tidak berguna baginya.  Begiu juga orang Arab penyembah berhala  yang mati pada masa fatrah  (jahiliyah), maka ia berada di Neraka. Ini  tidak menafikan penyimpangan  dakwah mereka, kaena sudah sampai kepada  mereka dakwah Nabi Ibrahim  ‘alahissalam dan yang lainnya.” (Lihat Minhaj  Syarah Shahih Muslim,  Imam Nawawi. 3/74)



Semua hadits yang menjelaskan  tentang dihidupkannya kembali kedua orang  tua Nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam dan keduanya beriman dan selamat  dari neraka semuanya palsu,  diada-adakan secara dusta dan lemah sekali  serta tidak ada satupun yang  shahih. Para ahli hadits sepakat akan  kedhaifannya seperti Daruquthni,  al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khatib,  Ibnu Asaki, Ibnu Nashr, Ibnul  Jauzi, as-Suhaili, al-Qurtubi, ath-Tabhari  dan Fathuddin Ibnu Sayyidin  Nas. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))



Adapun anggapan bahwa Imam  al-Asyari berpendapat bahwa kedua orang tua  Nabi beriman, harus  dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam Suyuthi  berpendapat bahwa  kedua orang tua Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam  beriman dan selamat  dari Neraka, namun hal ini menyelisihi para hafidz  dan para ulama  peneliti hadits. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))



Kedua : Penulis kitab  Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka  meyakini bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada saat  membaca shalawat,  terutam ketika Mahallul Qiyam (posisi berdiri), hal  itu sangat nampak  sekali di awal qiyam (berdiri) mambaca :



مَرْحَبًَايَامَرْحَبًَا  يَامَرْحَبًَا

مَرْ حَبًَايَا الْحُسَيْنِ مَرْحَبًَا



“Selamat  datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai  kakek  Husain selamat datang“



Bukankah ucapan selamat datang  hanya bisa diberikan kepada orang yang  hadir secara fisik? Meskipun di  tengah mereka terjadi perbedaan, apakah  yang hadir jasad Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama  ruhnya ataukah ruhnya saja.  Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela  perayaan Maulid-red)  mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan  bahwa yang hadir  adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah  ruhnya.



Padahal Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam telah berada di alam  Barzah yang tinggi dan ruhnya  dimuliakan Allah Ta’ala di surga, sehingga  tidak mungkin kembali ke  dunia dan hadir di antara manusia.



Pada bait berikutnya semakin  jelas nempak bahwa Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam diyakini  hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang  hadir adalah ruhnya.



يَانَبِنيْ  سَلاَمٌُ عَلَيْكَ

يَارَسُوْل سَلَمٌُ عَلَيْكَ

يَاحَبِبُ  سَلاَمٌُ عَلَيْكَ

صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ



“Wahai  Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu.

Wahai kekasih salam  sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah  atasmu.”



Para pembela Barzanji seperti  penulis “Fikh Tradisional” berkilah, bahwa  tujuan membaca shalawat itu  adalah untuk mengagungkan Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Menurutnya, salah satu cara mengagungkan  seseorang adalah dengan  berdiri, karena berdiri untuk menghormati  sesuatu sebetulnya sudah  menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal  itu dilakukan untuk  menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali  upacara bendera  dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus,  maupun pada  waktu yang lain, ketiak bendera merah putih dinaikkan dan  lagu  Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan  berdiri.  Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah  putih dan  mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera  saja  harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi lebih layak   dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau. Bukankah   Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia teragung  yang  lebih layak dihormati dari pada orang lain? (Lihat Fikh  Tradisional,  Muhyiddin Abdusshamad (277-278))



Ini adalah qiyas yang sangat  rancu dan rusak. Bagaimana mungkin  menghormati Rasul shallallahu  ‘alaihi wa sallam disamakan dengan hormat  bendera ketika upacara,  sedangkan kedudukan beliau  Shalallahu’alahisasalam sangat mulia dan  derajatnya sangat agung, baik  saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana  mungkin beliau disambut dengan  cara seperti itu, sedangkan beliau  berada di alam Barzah yang tidak  mungkin kembali dan hadir ke dunia  lagi. Di samping itu, kehadiran Rasul  shallallahu ‘alaihi wa sallam ke  dunia merupakan keyakinan bathil  karena termasuk perkara gaib yang  tidak bisa ditetapkan kecuali  berdasarkan wahyu Allah Ta’ala, dan bukan  dengan logika atau qiyas.  Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut  merupakan perkara bid’ah.  Pengagungan Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam terwujud dengan cara  menaatinya, melaksanakan perintahnya,  menjauhi larangannya dan  mencintainya.



Melakukan malan bid’ah,  khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan  bentuk pengagungan terhadap  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian  juga dengan cara perayaan  maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  perbuatan tersebut termasuk  bid’ah yang tercela.



Manusia yang paling besar  pengagungannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam adalah para  shahabat, sebagimana perkataan Urwah bin Mas’ud  kepada kaum Quraisy :  “Wahai kaumku, demi Allah, aku pernah menjadi  utusan kepada raja-raja  besar, aku menjadi utusan kepada Kaisar, aku  pernah menjadi utusan  kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum  pernah melihat seorang  Raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana  pengikut Muhammad.  Tidaklah Muhammad meludah kemudia mengenai telapak  tangan seseorang di  antara mereka, melainkan mereka langsung  mengusapkannya ke wajah dan  kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu  perkara, mereka bersegera  melaksanakannya. Apabila beliau berwudhu,  mereka saling berebut bekas  air wudhunya. Apabilamereka berkata, mereka  merendahkan suaranya dan  mereka tidak berani memandang langsung  kepadanya sebagai wujud  pengagungan mereka.” (HR. Bukhari : 3/187, no.  2731, 2732, al-Fath  5/388)



Bentuk pengagungan para shahabat  kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam di atas sangat besar. Namun,  mereka tidak pernah mengadakan acara  maulid dan kemudian berdiri  dengan keyakinan ruh Rasul shallallahu  ‘alaihi wa sallam sedang hadir  di tengah mereka. Seandainya perbuatan  tersebut disyariatkan, niscaya  mereka tidak akan meninggalkannya.



Jika para pembela maulid  tersebut berdalih dengan hadits Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam,  “Berdirilah kalian untuk tuan atau orang  yang paling baik di antara  kalian” (Shahih HR. Bukhari-Muslim dalam  shahihnya), maka alasan ini  tidak tepat.



Memang benar Imam Nawawi  berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat  anjuran untuk berdiri  dalam rangka menyambut kedatangan orang yang  mempunyai keutamaan,  (Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi,  juz XII, hal. 313).  Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat  meskipun terhadap  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan  pendapat yang benar,  hadist tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul  kepada orang-orang  Anshar agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin  Mu’adz  radliyallahu’anhu turun dari keledainya, karena ia sedang terluka   parah, bukan menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya   secara berlabihan. (Lihat Ikmalil Mu’lim bi Syarah Shahih Muslim, Qadhi   ‘Iyadh, 6/105).



Ketiga : Penulis Barzanji  mengajak untuk mengkultuskan Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam secara  berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat  untuk meminta tolong dan  bantuan sebagaimana pernyataannya.



فِيكَ  قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ

يَابَشِيْرُ يَانَذِيْرُ

فَأَغِثْنِيْ  وَ أَجِن

يَامُجِيْرُمِنَ السَّعِيْرِ

يَاغَيَاثِيْ  يَامِلاَذِيْ

فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ



“Padamu  sungguh aku telah berbaik sangka.

Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi  peringatan

Maka tolonglah aku  dan selamatkanlah aku.

Wahai pelindung dari neraka sa’ir.

Wahai penolongku dan  pelindungku.

Dalam  perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)”



Sikap berlebihan kepada Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam,  mengangkatnya melebihi derajat kenabian  dan menjadikannya sekutu bagi  Allah Ta’ala dalam perkara ghaib dengan  memohon kepada beliau dan  bersumpah dengan nama beliau merupakan sikap  yang sangat dibenci  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan  termasuk perbuatan  syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta  menyelisihi petunjuk  dan manhaj dakwah beliau Shalallahu’alahisasalam,  bahkan menyelisihi  pokok ajaran Islam yaitu Tauhid. Nabi telah  mengkhawatirkan akan  terjadinya hal tersebut., sehingga beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda : “Janganlah kamu berlebihan  dalam mengagungkanku sebagaimana  kaum Nasrani berlebihan ketika  mengagungkan Ibnu Maryam. AKu hanyalah  seorang hamba, maka katakanlah  aku adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR.  Bukhari dalam shahihnya 3445)



Telah dimaklumi, bahwa kaum  Nasrani menjadikan Nabi Isa ‘alahissallam  sebagai sekutu bagi Allah  dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada  Nabi-nya dan  meninggalkan berdoa kepada Allah Ta’ala, padahal ibadah  tidak boleh  dipalingkan kepada selain Allah Ta’ala. Nabi shallallahu  ‘alaihi wa  sallam telah memberi peringatan kepada umatnya agar tidak  menjadikan  kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung,  sebagaimana  dalam sabdanya : “Janganlah kalian jadikan kuburanku tempat  berkumpul,  bacalah shalawat atasku, sesungguhnya shalawatmu akan sampai  kepadaku  dimanapun kaum berada”. (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih  (2042)  dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram : 125)



Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam memberikan peringatan keras kepada  umatnya tentang sikap  berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan  beliau. Bahkan, ketika ada  orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa  sallam, mereka berkata : “Engkau Sayyid kami dan  anak sayyid kami,  engakau adalah orang terbaik di antara kami, dan anak  dari orang  terbaik di antara kami”, maka Nabi Shalallahu’alahisasalam  bersabda  kepada mereka : “Katakanlah dengan perkataanmu atau  sebagiannya, dan  jangan biarkan syaitan mengelincirkanmu.” (Shahih,  disahhihkan oleh  al-Albani dalam Ghayatul Maram 127, lihat takhrij  beliau di dalamnya).



Termasuk perbuatan yang  berlebihan dan melampaui batas terhadap Nabi  shallallahu ‘alaihi wa  sallam adalah bersumpah dengan nama beliau,  karena adalah bentuk  pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali  kepada Allah Ta’ala.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  “Barangsiapa bersumpah  hendaklah bersumpah dengan nama Allah Ta’ala,  jikalau tiadk bisa  hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari-Muslim dalam  shahihnya 2679 dan 1646)



Cukuplah dengan hadist tentang  larangan bersikap berlebihan dalam  mengagungkan Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak  membutuhkan tambahan dan  pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin  mencari kebenaran, niscaya ia  akan menemukannya dalam ayat dan hadist  tersebut, dan hanya Allah-lah  yang memberi petunjuk.



Keempat : Penulis kitab  Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah  yang mengandung pujian  yang sangat berlebihan kepada Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam.



Para pengagum kitab Barzanji  mengagngap bahwa membaca shalawat kepada  Nabi Muhammad merupakan ibadah  yang sangat terpuji. Sebagaimana firman  Allah Ta’ala



Ayat ini yang mereka jadikan  dalil untuk membaca kitab tersebut pada  setiap peringatan maulid Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal,  ayat di atas merupakan bentuk  perintah kepada umat Islam agar mereka  membaca shalawat di manapun dan  kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu  seperti pada perayaan maulid Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam.



Tidak dipungkiri bahwa  bershalawat atas Nabishallallahu ‘alaihi wa  sallam terutama ketika  mendengar nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  disebut sangat  dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan shalawat  atas Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari  melakukan hal-hal  yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan  akhirat, karena :



1) Terkena doa Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallamyaitu sabda beliau :  “Sungguh celaka bagi  seseorang yang disebutkan namaku disisnya, namun ia  tidak bershalawat  atasku.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 2/254,  At-Tirmidzi dalam Sunannya  3545 dan dishahihkanoleh al-Albani dal ‘Irwa :  6)



2) Mendapatkan gelar  bakhil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  beliau bersabda : “Orang  bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku  disisinya, ia tidak  bershalawat atasku”. (Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam  Sunannya 3546,  Ahmad dalam Musnadnya 1/201, dan dishahihkan oleh  al-Albani dalam ‘Irwa  : 5)



3) Tidak mendapatkan  pahala yang berlipat ganda dari Allah Ta’ala,  karena meninggalkan  shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Nabi  shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda : “Barangsiapa membaca shalawat  atasku skali, maka  Allah Ta’ala bershalawat atasku 10 kali”. (HR. Imam  Muslim dalam  Shahinya 284)



4) Tidak mendapatkan  keutamaan shalawat dari Allah Ta’ala dan para  malaikat. Allah Ta’ala  berfirman : “Dialah yang memberi rahmat kepadamu  dan malaikat-Nya  memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan  kamu dari kegelapan  kepada cahaya yang teramg dan Dia Maha Penyayang  kepada orang-orang  yang beriman”(QS. Al Ahzab 33:34)



Bahkan membaca shalawat  menyebabkan hati menjadi lembut, karena membaca  shalawat termasuk  bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi  tentram dan damai  sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Orang-orang yang  beriman dan hati  mereka menjadi tentram dangan mengingat Allah Ta’ala.  Ingatlah, hanya  dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.(QS.  Ar-Ra’du 13:28).  Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan  ikhlas karena  Allah Ta’ala semata, bukan shalawat yang dikotori oleh  bid’ah dan  khurafat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi  wa sallam, sehingga bukan mendapat ketentraman di  dunia dan pahala di  akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan  siksaan dari Allah  Ta’ala. Siksaan tersebut bukan karena mambaca  shalawat, namun karena  menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi,  dikhususkan pada malam  peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam saja, yang  jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan  terhadap  syariat.



Kelima : Penulis kitab  Barzanji juga meyakini tentang Nur Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa  sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya  :



وَمَازَالَ  نُوْرُالْمُسْطَفَى مُتَنَقِّلاًَ

مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي  لِطَاهِرِأَرْدَانٍِ



“Nur  musthafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih   kepada yang sulbi suci nan murni”



Bandingkanlah dengan perkataan  kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj  yang berkata : “Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam memilik cahaya yang  kekal abadi dan  terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua  cabang ilmu dan  pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi  sebelum  Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya   tersebut”.



Demikian juga perkataan Ibnu  Arabi Attha’i bahwa semua Nabi sejak Nabi  Adam ‘alahissallam hingga  Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya  kenabian Muhammad shallallahu  ‘alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi.  (Lihat perinciannya dalam  kitab Mahabbatur Rasulullah oleh Abdur Rauf  Utsman (169-192))



Perlu diketahui bahwa ghuluw itu  banyak sekali macamnya. Kesyirikan  ibarat laut yang tidak memiliki  tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas  pada perkataan kaum Nasrani saja,  karena umat sebelum mereka juga  berbuat kesyirikan dengan menyembah  patung, sebagaimana perbuatan kaum  jahiliyah. Di antara mereka tidak  ada yang mengatakan kepada Tuhan merek  seperti perkataan kaum Nasrani  kepada Nabi Isa ‘alahissallam, seperti ;  dia adalah Allah, anak Allah,  atau menyakini prinsip Trinitas mereka.  Bahkan mereka adalah kepunyaan  Allah Ta’ala dan di bawah kekuasaan-Nya.  Namun, mereka menyembah  Tuhan-Tuhan mereka dengan keyakinan bahwa  Tuhan-Tuhan mereka itu mempu  memberi syafaat dan menolong mereka.  Demikian uraian sekilas tentang  sebagian kesalah kitab Barzanji, semoga  bermanfaat.

Fatwa Beastiality (Menikah/Menjimai Hewan) dari Marja' Syi'ah
Wednesday, October 20, 2010 8:04 PM

‘Aliy Al-Sistaaniy – seorang marja’ Syi’ah – telah berfatwa bahwa menjimai hewan pada asalnya adalah boleh berdasarkan beberapa riwayat yang ada (dalam buku Syi'ah tentu saja). Namun kemudian kini, ia (hanya) makruh dan wajib ditinggalkan sebagai langkah kehati-hatian. Berikut lembar naskah fatwa tersebut :





Terjemahannya kurang lebih demikian :



Pertanyaan :

"Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.

Maula kami As-Sistaaniy, semoga Allah memanjangkan umurmu, dan semoga Allah menyucikan jalanmu dan menjadikanmu sebagai perbendaharaan bagi umat Islam.



Maula kami,....aku punya pertanyaan yang sangat memalukan. Maula kami, aku adalah seorang yang belum menikah dan hidup di tengah gurun pasir, yaitu penggembala kambing lagi bujangan. Segala yang aku butuhkan tersedia seperti hp dan komputer.....akan tetapi aku mempunyai syahwat yang sangat besar. Tidak ada seorang pun yang bisa aku nikahi secara mut'ah (=nikah mut'ah). Celakanya, aku punya pikiran syaithaniyyah. (Yaitu), aku telah menjima'i dua ekor domba, seekor anak domba, dan seekor anak sapi. Dan sekarang, aku sangat takut karena salah satu perut domba (yang aku jima'i) menjadi besar, dan aku takut ia bunting (karena perbuatanku).... Apakah diperbolehkan menikahi/menjima'i hewan (beastialism) wahai maula kami ? karena aku mendengar dari orang-orang, perbuatan tersebut halal. Terima kasih.



Jawaban :

Dengan nama-Nya yang Maha Tinggi. Sesungguhnya menjimai hewan sebelum diutusnya Nabi telah banyak tersebar. Dan diriwayatkan dalam banyak hadits bahwasannya ia HALAL, akan tetapi ia dibenci (MAKRUH). Dan yang lebih hati-hati adalah kewajiban untuk meninggalkan kebiasaan ini yang menyebabkan penyakit pada diri/tubuh. Dan wajib bagimu untuk memberitahukan kepada pemilik domba-domba tersebut dan membayar uang kepadanya (karena perbuatanmu pada hewan-hewannya itu)" [selesai].
Kandungan Hadits No. 7, dalam Kitab Syarah Riyadhush Shalihin
Sunday, June 20, 2010 5:11 PM
Seseorang bertanggung jawab dan akan dihisab berdasarkan niat dan amalnya. Oleh karena itu, dia harus benar-benar mengarahkan keduanya ke jalan yang baik dan lurus, yaitu jalan petunjuk, yang datang dari Allah subhanahu wa ta'ala dan benar berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam



وعن أبي هـريـرة عـبد الـرحمـن بن صـخر رضي الله عنه قـال: قـال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله لا يـنـظــر إلى أجـسـا مـكم، ولا إلى صـوركـم، ولـكن ينـظـر إلى قلـو بـكم.



وفي روايـة: إن الله لا ينـظـر إلى صـوركـم وأموا لكم ولكن ينـظـر إلى قلو بـكم و أعـمالكم.



Dari Abu Hurairah 'Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuh-tubuh kalian dan tidak juga kepada bentuk rupa-rupa kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian.'”



Dalam riwayat lain disebutkan: 'Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta benda kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan perbuatan kalian.' (Riwayat Muslim 2564/33. Dan riwayat kedua 2564/34)

MAKSUD BERSEMAYAM
Tuesday, June 08, 2010 6:41 PM

Bersemayamnya Allah di atas 'Arsy-Nya adalah dengan cara bersemayam yang khusus, bukan bersemayam secara umum seperti yang dilakukan oleh para makhluk. Maka dari itu tidak sah dikatakan istawa 'ala al-makhluqat (bersemayam di atas makhluk-makhluk) atau di atas langit atau di atas bumi karena Dia terlalu mulia untuk itu. Mengenai 'Arsy kami katakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala bertahta dan bersemayam di atas 'Arsy-Nya. Kata istawa lebih khusus daripada kata 'uluw yang mutlak, maka dari itu bersemayamnya Allah di atas singgasana-Nya termasuk sifat-sifat-Nya yang fi'liyah yang berkaitan dengan kehendak-Nya, lain halnya dengan kata 'uluw, itu termasuk sifat-sifat dzatiyah-Nya, yang tidak lepas darinya.



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah secara terus terang menjelaskan tentang hadits yang ada dalam bukunya Majmu' Al-Fatawa jilid V halaman 522, yang dikumpulkan oleh Ibnu Qasim, "Dengan demikian Allah bersemayam di atas 'Arsy setelah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Sebelum itu Dia tidak bersemayam di atas 'Arsy. Dikatakan bahwa kata istawa' adalah cara bersemayam yang khusus. Segala sesuatu yang bersemayam di atas sesuatu, dia berada di atasnya, tetapi tidak semua yang berada di atas sesuatu tidak disebut dengan bersemayam dan bertahta di atasnya, tetapi segala sesuatu yang bersemayam di atas sesuatu berarti dia berada di atasnya." Itulah maksud yang sesungguhnya.



Sedangkan perkataan kami "sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya" berarti bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy adalah seperti sifat-sifat-Nya yang lain, hanya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, yang tidak sama dengan bersemayamnya manusia. Masalah ini berarti kembali kepada masalah bagaimana bersemayamya Allah di atas 'Arsy itu, karena sifat mengikuti yang disifati. Sementara Allah adalah dzat yang tidak bisa dibuat permisalannya dan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat lainnya, seperti yang difirmankan Allah, "Tidak ada sesuatu pun yang sepadan dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuura:11).



Tidak ada yang menyamai Allah dalam dzat dan sifat-Nya, maka dari itu, Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang bersemayamnya Allah, beliau menjawab, "Bersemayam adalah sesuatu yang dimengerti, tetapi bagaimana bersemayamnya adalah sesuatu yang tidak masuk akal namun harus diimani dan mempertanyakannya adalah bid'ah." Ini adalah ukuran untuk semua sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan-Nya untuk Diri-Nya sendiri dalam bentuk yang sesuai dengan-Nya tanpa mengubah, tanpa mengada-ngada, tanpa mempertanyakan, dan tanpa membuat permisalan.



Dari sini jelaslah faedah dari pendapat ini bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy adalah bersemayam dengan cara yang khusus untuk-Nya, karena ketinggian secara umum adalah milik Allah, baik sebelum menciptakan langit dan bumi, ketika menciptakan, maupun sesudah menciptakan keduanya; karena hal itu termasuk sifat wajib-Nya, seperti Maha Mendengar, Maha Melihat, Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya.
PENDAPAT ULAMA SALAF AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TENTANG ISTIWAA'
Tuesday, June 08, 2010 6:20 PM
Pada 7 tempat Ia berfirman di Kitab-Nya yaitu :



الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa’ (thaha:5)



…ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ…

Kemudian Ia istawaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy(Qs Al A’araf:54)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs. Yunus : 3)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

kemudian Dia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs. Ar ra’d:2)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Dia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.Al Furqan:59)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

kemudian Dia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.As Sajdah:4)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

kemudian Dia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.A; hadid:4)



Mengenai firman allah di atas, para ulama mempunyai pendapat yang sangat banyak sekali. Tetapi dalam hal ini kami menempuh dalam jalan para Ulama Salafush Shalih, yaitu Imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan iman-iman lainnya. Baik yangterdahulu maupun yang hidup pada masa berikutnya . Yaitu dengan membiarkannya seperti apa adanya, tapa adanya ;



1. TAKYIF (mempersoalkan kaifiatnya/hakikatnya)

2. TASYBIH (penyerupaan)

3. dan TA’THIL (penolakan)



Dan setiap makna zhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut paham MUSYABBIHAH (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut jauh dari Allah, seperti yang difirmankan-Nya berikut ini :



لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ



Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Qs.Asy-Syuura:11)



Tetapi persoalannya adalah seperti apa yang dikemukakan oleh para imam yang di antaranya adalah Na’im bin Hammad al-Khuza’i guru al-Bukhari, ia mengatakan :



“ Barang siapa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia kafir. Dan barang siapa mengikari sifat yang Allah berikan untuk diri-Nya sendiri , berarti ia juga kafir.”



Dan tidaklah apa-apa yang disifatkan Allah Ta’ala bagi diri-Nya sendiri dan oleh Rasul-Nya merupakan suatu bentuk penyerupaan. Barangsiapa menetapkan bagi Allah subhanahu wa ta’ala setiap apa yang disebutkan oleh ayat-ayat al-Qur’an yang jelas dan hadits-hadits shahih, dengan pengertian yang sesuai dengan KEBESARAN ALLAH, serta menafikan segala kekurangan dari diri-Nya, berarti ia telah menempuh jalan petunjuk



( LIHAT TAFSIR IBNU KATSIR )
SIAPA BILANG ALLAH SERUPA DENGAN MAKHLUK -NYA ?
Tuesday, June 08, 2010 5:57 PM
Manhaj salaf Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah MENETAPKAN (ITSBAT) apa-apa yang Allah telah firmankan di dalam Al Qur’an dan apa-apa yang telah di sabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam di dalam hadits-hadits yang shahih tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti istiwaa’ (bersemayam)nya Allah di atas ‘Arsy yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-nya, wajah-Nya, Tangan-Nya, mata-Nya, datang-Nya, turun-Nya, marah-Nya, cinta-Nya dan lain-lain banyak sekali di dalam Al Qur’an dan hadits-hadits SHAHIH di Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasaa’i, Ibnu Majah, Malik, Ahmad, Kitab Tauhid Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Mereka MENETAPKAN tanpa :



1. TA’THIL (menghilangkan),

2. TA’WIL (mengganti arti ZHAHIR kepada arti yang lain),

3. TAMTSIL (menyerupakan dengan makhluk)

4. dan TAKYIF (bertanya bagaimana sifat Allah itu)



Sebagaimana firman Allah :



لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ…



Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.(Qs.Asy Syura:11)

Bagian YANG PERTAMA dari ayat yang mulia ini ME-NAFI-KAN adanya penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Sedangkan penyerupaan bagian YANG KEDUA MENETAPKAN (ITSBAT) adanya sifat-sifat Allah.



Keduanya wajib kita imani, yaitu tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan Allah tidak serupa dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya dan perbuatan-Nya.



Dan kitapun menetapkan nama dan sifat-Nya APA ADANYA tanpa TA’WIL dan seterusnya seperti di atas.



Dan tidaklah dikatakan meyerupakan Allah dengan makhluk-nya kalau kita MENETAPKAN BAHWA Allah bersemayam di atas ‘Arsy, mempunyai wajah, tangan, mata, datang dan turun yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya



Dan tidaklah sama bersemayam-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, mata-Nya, datang-Nya, turun-Nya, ke langit dunia setiap sepertiga malam, yang akhir dan seterusnya dengan bersemayam, wajah, tangan makhluk-Nya.. Kecuali kalau kita mengatakan bahwa bersemayamnya Allah, wajah-Nya dan tangan-Nya sama atau serupa dengan bersemayamnya, wajah dan tangan makhluk-Nya.



Kalau MENETAPKAN nama dan sifat Allah dituduh menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH bertanya kepada ahli bid’ah dari kaum Jahmiyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, maturidiyyah, dan lain-lain :



“ Bukankah anda telah menetapkan ada DZAT bagi Allah dan manusia juga mempunyai DZAT , SAMAKAH ATAU SERUPAKAH DZAT ALLAH DENGAN DZAT MANUSIA ?



TOLONG JAWAB WAHAI KAUM !
" ALLAH ADA TANPA TEMPAT "
Tuesday, June 08, 2010 5:43 PM
Keyakinan ini terang-terangan telah membantah Al Qur’an yang menegaskan bahwa Allah ISTIWAA’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Dalam hal ini telah datang begitu banyak dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.



Pada 7 tempat Ia berfirman di Kitab-Nya yaitu :



الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa’ (thaha:5)



…ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ…

Kemudian Ia istawaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy(Qs Al A’araf:54)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs. Yunus : 3)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs. Ar ra’d:2)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.Al Furqan:59)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.As Sajdah:4)



ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

kemudian Dia istiwaa’ (bersemayam) di atas 'Arsy (Qs.A; hadid:4)



Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang sangat masyhur sekali yang diriwayatkan oleh banyak imam, di antaranya Al Imam Muslim di Shahih-nya juz II hal. 70-71 :



Beliau bertanya kepada budak perempuan ; “DIMANAKAH ALLAH ?”

Jawab budak perempuan ; “ DI ATAS LANGIT “

Beliau bertanya lagi : “ Siapa aku ?”

Jawab budak perempuan : “Engkau ialah Rasullullah shallallahu ‘alaihi wassalam.”

Beliau bersabda : “ Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan beriman)



Inilah aqidah yang sangat besar dan sangat agung yang telah hilang dari dada-dada sebagian besar kaum muslimin. Oleh karena itu, wajib bagi kita membersihkan aqidah kita dari kekotoran syirik dan segala macam pemahaman yang sesat dan menyesatkan yang mengatakan ALLAH ADA TANPA TEMPAT!!! Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan!



Aqidah kita, bahwa kita meyakini ALLAH ADA DIATAS LANGIT BERSEMAYAM DI ATAS ‘ARSY-NYA YANG SESUAI DENGAN KEBESARAN DAN KEMULIAAN-NYA SEBAGAIMANA NASH AL QUR’AN DAN HADITS.

   

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar